A.
Penyerapan
Al-Urf Dalam Hukum Islam[1]
Pada
waktu islam masuk dan berkembang di Arab, di sana berlaku norma yang mengatur
hubungan bermuammalah yang telah berlangsung lama yang disebut urf (adat). Adat
tersebut diterima dari generasi sebelumnya dan diyakini serta dijalankan oleh
umat manusia dengan anggapan bahwa itu baik menurut mereka.
Islam
datang dengan seperangkat norma syara’ yang mengatur hubungan muammalah yang
harus dipatuhi umat islam sebagai konsekuensi terhadap keimanannnya kepada
Allah dan Rasulnya. Sebagian dari adat itu ada yang selaras dan ada yang
bertentangan dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Adat yang bertentangan
dengan hukum syara’ tidak mungkin dilaksanakan oleh umat islam secara bersamaan
dengan hukum syara’. Pertemuan antara adat dan syariat tersebut terjadilah
pembenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya. Dalam hal ini
diutamakan adalah proses penyeleksian adat yang dipandang diperlukan untuk
dilaksanakan. Adapun yang dijadikan pedoman untuk menyeleksi adat lama itu
adalah kemaslahatan menurut wahyu. Berdasarkan hasil seleksi tersebut , adat
dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
1.
Adat
lama secara substansial dan dalam pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan. Contohnya uang
tebusan darah (diyat) yang harus dibayar oleh pihak pelaku pembunuhan kepada
keluarga yang terbunuh apabila telah dimaafkan. Hukum ini berlaku dikalangan
masyarakat arab sebelum islam datang dan dinilai dapat terus diberlakukan,
hingga tetap menjadi hukum islam.
2.
Adat
lama yang prinsipnya secara substansial mengandung unsur kemaslahatan, namun
dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh islam. Adat dalam bentuk ini
dapat diterima oleh islam, tetapi dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami
perubahan dan penyesuaian. Contohnya ucapan suami yang menyamakan istrinya
(punggungnya) dengan ibunya sendiri atau disebut zhihar, merupakan suatu cara
yang sudah biasa berlangsung dikalangan masyarakat arab sebagai usaha untuk
berpisah dengan istrinya. Sesudah melakukan zhihar, suami dan istri tidak
diperbolehkan lagi berhubungan dan putuslah hubungan mereka sebagai suami
istri.
3.
Adat
lama yang pada prinsip pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat (kerusakan).
Adat dalam bentuk ini ditolak oleh islam secara mutlak.
4.
Adat
yang telah berlangsung lama, diterima oleh banyak orang karena tidak mengandung
unsur mafsadat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
B.
Pembenturan
Dalam Urf[2]
a.
Pembenturan
urf dengan syara’ maksudnya antara urf dengan syara’ di sini adalah perbedaan
dalam hal penggunaan ucapan ditinjau dari segi urf dan dari segi syara’. Hal
ini pun dipisahkan pada pembenturan yang berkaitan dengan hukum dan yang tidak
berkaitan dengan hukum.
1.
Bila
urf berbenturan dengan syara’ dan tidak berkaitan dengan materi hukum , maka
didahulukan urf. Contohnya,bila seseorang bersumpah bahwa tidak akan duduk
dibawah atap, tetapi kemudian ia duduk dibawah langit maka ia dianggap tidak
melanggar sumpahnya, padahal didalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa langit itu
atap, tetapi dalam pengertian urf langit itu bukanlah urf. Dengan demikian,
maka didahulukan pengertian urf bila bertentangan dengan pengertian syara’.
2.
Bila
urf berbenturan dengan syara’ dalam hal yang berhubungan dengan materi hukum,
maka didahulukan syara’ atas urf. Contohnya, apabila seseorang berwasiat untuk
kerabatnya, apakah dalam pengertian kerabat termasuk ahli waris atau tidak.
b.
Pembenturan
urf dengan umum nash yang pembenturannya tidak menyeluruh. Dalam hal ini ada
dua pendapat :
1.
Menurut
ulama hanafiyah urf digunakan untuk mentakhsis umum nash. Umpamnya dalam ayat
al-qur’an dijelaskan bahwa masa menyusui anak yang sempurna adalah 2 tahun
penuh. Namun menurut adat bangsawan arab, anak-anak disusui orang lain dengan
mengupahnya.
2.
Menurut
ulama syafi’, yang dikuatkan untuk mentakhsiskan nash yang umum itu hanyalah
urf qauli bukan fi’li.
c.
Pembenturan
urf dengan qiyas, jumhur ulama berpendapat untuk mendahulukan urf atas qiyas,
karena dalil untuk menggunakan urf adalah kebutuhan hajat banyak orang,
sehingga ia harus didahulukan atas qiyas. Contohnya dalam hal jual beli lebah
dan ulat sutra. Imam abu hanifah pada awalnya mengharamkan jual beli lebah dan
sutra dengan mengqiyaskannya kepada kodok dengan alasan sama-sama hama tanah.
Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga tersebut ada manfaatnya dan orang
telah terbiasa untuk memeliharanya. Atas dasar ini Muhammad ibn Hasan
al-syaibani membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah berdasarkan urf.
C.
Kedudukan
Urf Dalam Menetapkan Hukum[3]
Secara
umum al-urf digunakan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama mazhab
hanafiyah dan malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah bentuk istihsan tersebut adalah
istihsan yang disandarkan pada urf. Oleh ulama hanafiyah, urf itu didahulukan
atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum. Sedangkan ulama
Malikiyah menjadikan urf yang hidup dikalangan ahli madinah sebagai dasar
menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Syafi’iyah
menggunakan urf dalam hal-hak tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’
maupun dalam penggunaan bahasa.
Para ulama yang
mengamalkan urf dalam memahami dan mengistinbathkan hukum, menetapkan beberapa
persyaratan untuk menerima urf tersebut, yaitu :
1.
Adat
atau urf itu bernilai maslahah dan dapat diterima oleh akal sehat.
2.
Adat
itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan
tersebut atau dikalangan sebagian besar warganya.
3.
Urf
dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah berlaku pada saat itu bukan
yang muncul kemudian
4.
Adat
tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan
prinsip yang pasti. Jika bertentangan, seperti kebiasaan orang meminum khamr,
riba, berjudi, dan jual beli gharar dan lainnya maka tidak boleh diterapkan.
D.
Objek
Al-urf[4]
Adat
sebagai dalil syara’ merupakan salah satu bentuk pendapat pribadi yang beragam.
Oleh sebab itu, ia tidak boleh digunakan dalam beberapa hal yang memang tidak
ada ruang bagi akal didalamnya, seperti masalah ibadah, qishas, dan hudud. Dan
setiap yang dapat dimasuki logika maka boleh menggunakan adat istiadat dengan
tetap memperhatikan syarat-syaratyang sudah ditetapkan sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, H. 2014. “Ushul Fiqh”. Jakarta : Kencana.
Khalil, Hasan, Rasyad. 2015. “Tarikh Tasyri’” Jakarta :
Amzah.
[1] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin. “Ushul Fiqh” (Jakarta, Kencana) h.416
[2]
Ibid, h.420-422
[3] Ibid,
h.422-426
[4] Dr.
Rasyad Hasan Khalil. “Tarikh Tasyri’” (Jakarta, Amzah, 2015) h.170
0 komentar:
Posting Komentar