Jumat, 04 Mei 2018

Al-Urf Sebagai Hukum Islam




A.    Penyerapan Al-Urf Dalam Hukum Islam[1]
Pada waktu islam masuk dan berkembang di Arab, di sana berlaku norma yang mengatur hubungan bermuammalah yang telah berlangsung lama yang disebut urf (adat). Adat tersebut diterima dari generasi sebelumnya dan diyakini serta dijalankan oleh umat manusia dengan anggapan bahwa itu baik menurut mereka.
Islam datang dengan seperangkat norma syara’ yang mengatur hubungan muammalah yang harus dipatuhi umat islam sebagai konsekuensi terhadap keimanannnya kepada Allah dan Rasulnya. Sebagian dari adat itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Adat yang bertentangan dengan hukum syara’ tidak mungkin dilaksanakan oleh umat islam secara bersamaan dengan hukum syara’. Pertemuan antara adat dan syariat tersebut terjadilah pembenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya. Dalam hal ini diutamakan adalah proses penyeleksian adat yang dipandang diperlukan untuk dilaksanakan. Adapun yang dijadikan pedoman untuk menyeleksi adat lama itu adalah kemaslahatan menurut wahyu. Berdasarkan hasil seleksi tersebut , adat dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
1.   Adat lama secara substansial dan dalam pelaksanaannya  mengandung unsur kemaslahatan. Contohnya uang tebusan darah (diyat) yang harus dibayar oleh pihak pelaku pembunuhan kepada keluarga yang terbunuh apabila telah dimaafkan. Hukum ini berlaku dikalangan masyarakat arab sebelum islam datang dan dinilai dapat terus diberlakukan, hingga tetap menjadi hukum islam.
2.   Adat lama yang prinsipnya secara substansial mengandung unsur kemaslahatan, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh islam. Adat dalam bentuk ini dapat diterima oleh islam, tetapi dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami perubahan dan penyesuaian. Contohnya ucapan suami yang menyamakan istrinya (punggungnya) dengan ibunya sendiri atau disebut zhihar, merupakan suatu cara yang sudah biasa berlangsung dikalangan masyarakat arab sebagai usaha untuk berpisah dengan istrinya. Sesudah melakukan zhihar, suami dan istri tidak diperbolehkan lagi berhubungan dan putuslah hubungan mereka sebagai suami istri.
3.   Adat lama yang pada prinsip pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat (kerusakan). Adat dalam bentuk ini ditolak oleh islam secara mutlak.
4.   Adat yang telah berlangsung lama, diterima oleh banyak orang karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
B.     Pembenturan Dalam Urf[2]
a.    Pembenturan urf dengan syara’ maksudnya antara urf dengan syara’ di sini adalah perbedaan dalam hal penggunaan ucapan ditinjau dari segi urf dan dari segi syara’. Hal ini pun dipisahkan pada pembenturan yang berkaitan dengan hukum dan yang tidak berkaitan dengan hukum.
1.    Bila urf berbenturan dengan syara’ dan tidak berkaitan dengan materi hukum , maka didahulukan urf. Contohnya,bila seseorang bersumpah bahwa tidak akan duduk dibawah atap, tetapi kemudian ia duduk dibawah langit maka ia dianggap tidak melanggar sumpahnya, padahal didalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa langit itu atap, tetapi dalam pengertian urf langit itu bukanlah urf. Dengan demikian, maka didahulukan pengertian urf bila bertentangan dengan pengertian syara’.
2.    Bila urf berbenturan dengan syara’ dalam hal yang berhubungan dengan materi hukum, maka didahulukan syara’ atas urf. Contohnya, apabila seseorang berwasiat untuk kerabatnya, apakah dalam pengertian kerabat termasuk ahli waris atau tidak.
b.   Pembenturan urf dengan umum nash yang pembenturannya tidak menyeluruh. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.    Menurut ulama hanafiyah urf digunakan untuk mentakhsis umum nash. Umpamnya dalam ayat al-qur’an dijelaskan bahwa masa menyusui anak yang sempurna adalah 2 tahun penuh. Namun menurut adat bangsawan arab, anak-anak disusui orang lain dengan mengupahnya.
2.      Menurut ulama syafi’, yang dikuatkan untuk mentakhsiskan nash yang umum itu hanyalah urf qauli bukan fi’li.
c.    Pembenturan urf dengan qiyas, jumhur ulama berpendapat untuk mendahulukan urf atas qiyas, karena dalil untuk menggunakan urf adalah kebutuhan hajat banyak orang, sehingga ia harus didahulukan atas qiyas. Contohnya dalam hal jual beli lebah dan ulat sutra. Imam abu hanifah pada awalnya mengharamkan jual beli lebah dan sutra dengan mengqiyaskannya kepada kodok dengan alasan sama-sama hama tanah. Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga tersebut ada manfaatnya dan orang telah terbiasa untuk memeliharanya. Atas dasar ini Muhammad ibn Hasan al-syaibani membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah berdasarkan urf.


C.     Kedudukan Urf Dalam Menetapkan Hukum[3]
Secara umum al-urf digunakan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama mazhab hanafiyah dan malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah bentuk istihsan tersebut adalah istihsan yang disandarkan pada urf. Oleh ulama hanafiyah, urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum. Sedangkan ulama Malikiyah menjadikan urf yang hidup dikalangan ahli madinah sebagai dasar menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Syafi’iyah menggunakan urf dalam hal-hak tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.
Para ulama yang mengamalkan urf dalam memahami dan mengistinbathkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima urf tersebut, yaitu :
1.   Adat atau urf itu bernilai maslahah dan dapat diterima oleh akal sehat.
2.   Adat itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut atau dikalangan sebagian besar warganya.
3.   Urf dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah berlaku pada saat itu bukan yang muncul kemudian
4.   Adat tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti. Jika bertentangan, seperti kebiasaan orang meminum khamr, riba, berjudi, dan jual beli gharar dan lainnya maka tidak boleh diterapkan.
D.    Objek Al-urf[4]
Adat sebagai dalil syara’ merupakan salah satu bentuk pendapat pribadi yang beragam. Oleh sebab itu, ia tidak boleh digunakan dalam beberapa hal yang memang tidak ada ruang bagi akal didalamnya, seperti masalah ibadah, qishas, dan hudud. Dan setiap yang dapat dimasuki logika maka boleh menggunakan adat istiadat dengan tetap memperhatikan syarat-syaratyang sudah ditetapkan sebelumnya



DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, H. 2014. “Ushul Fiqh”. Jakarta : Kencana.
Khalil, Hasan, Rasyad. 2015. “Tarikh Tasyri’” Jakarta : Amzah.




[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. “Ushul Fiqh” (Jakarta, Kencana) h.416
[2] Ibid, h.420-422
[3] Ibid, h.422-426
[4] Dr. Rasyad Hasan Khalil. “Tarikh Tasyri’” (Jakarta, Amzah, 2015) h.170

0 komentar:

Posting Komentar

 
Ni'matul Maola Blogger Template by Ipietoon Blogger Template